Tulisan ini merupakan tulisan Mbak Ira Fijayanti (Pustakawan SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta), salah satu peserta diskusi. Disalin di blog ini, dengan ijin penulis.
Diskusi yang dilaksanakan di Ruang Seminar Perpustakaan UGM Yogyakarta pada Rabu, 18 Januari 2016 ini membahas kerja sama antara Pustakawan dan Jurnalis di era internet dan big data, dengan menghadirkan pembicara dari Associate Editor The Straits Times Singapore. Beliau Adalah Ivan Fernandez. Diskusi ini cukup menarik dengan topic utama yang membahas peran librarian dalam memenuhi kebutuhan informasi para jurnalis di era big data. dan menyajikan informasi yang berguna dalam bentuk cerita dengan content yang bisa di pertanggung jawabkan.
Seperti yang kita ketahui profesi jurnalis adalah orang yang menyajikan cerita atau pembuat story, sehingga dalam menyajikan sebuah story yang valid, benar, baik dan pas diperlukan data yang valid, maka dari itu seorang jurnalis dalam membuat story tidak bisa bekerja sendiri, dia membutuhkan pustakawan dalam menyediakan sumber- sumber informasi (information sources) yang valid, caranya adalah dengan knowledge sharing untuk membuat story menjadi tulisan yang tertata sehingga menjadi sebuah informasi.
Librarian, mampu membaca informasi ditengah- tengah over load informasi di era digital ini, mampu menemukan informasi dalam bentuk digital, dan mampu mengkurasi informasi, karena seorang jurnalis dia menayjikan naskah atau artikel dalam berbagai area atau bidang. Ketika seorang jurnalis akan menulis sesuatu dia setidaknya membutuhkan tiga orang atau sumber untuk menilai kesalahan dan kurangnya dimana sebuah artikel, karena dengan 3 perspektif akan menjadi bagus dalam membuat artikel yang adil dan tidak memihak.
Bagaimana mencari data dalam jumlah yang besar yaitu dari Big data, Big data bisa diperoleh dari kantor statistik, agen- agen pemerintah namun tidak serta merta hal tersebut dapat diperoleh dengan mudah karena dengan alasan keamanan. Padahal data mampu memperkuat sebuah tulisan menjadi valid. Sebagai contoh adalah kematian di rumah sakit yang diesebabkan oleh kesalahan dokter dan rumah sakit, kita melihat informasinya, kemudian menarik kesmpulan dari kejadian tersebut agar kedepannya hal tersebut tidak terjadi lagi.
Seperti yang telah kita ketahui di atas bahawa jurnalis dalam membuat artikel atau naskah tidak hanya membutuhkan satu sumber namun paling tidak membutuhkan tiga sumber yaitu reporter, data visual team spesailist, dan analisis data. Reporter berperan sebagai penacari berita, data visual team specialist adalah mereka yang bekerja untuk melihat dalam bentuk gambar, chart, sedangkan analisis data menyederhanakan sesuatu yang rumit agar lebih simple dan bisa dimengerti. Dengan demikian dalam menyajikan naskah jurnalis menstimulasi dirinya dalam bentuk pertanyaan, membubuhi pertanyaan dalam naskah agar lebih hidup.
Big data bisa membuat sebuah cerita menjadi kuat, librarian mengolah data menjadi valid, librarian menjadi temannya jurnalis. Disinilah letak peran dari pustakawan itu sendiri, membantu jurnalis dalam proses pencarian sehingga jurnalis menjadi confidence dalam tulisannya. Namun tidak serta merta semua institusi membuka data untuk public dengan alasan keamanan, sehingga hal yang menjadi tantangan adalah bagaiaman cara agar intitusi tersebut menjadi open ( terbuka) artinya berkolaborasi untuk mendukung pekerjaan sebagai jurnalis.
Jadi dari dskusi ini dapat disimpulkan bahwa, Jurnalis dan pustakwan bekerja sama dalam meyediakan story yang valid dimana ketersediaan data content yang ditulis menjadi kuat, pustakawan berperan dalam menyajikan data yang valid bagi jurnalis untuk menyediakan naskah yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan, peran dan tugas yang dilakukan oleh profesioanl dalam bekerja sehari- hari menuntut kebutuhan informasi tertentu.
Sumber: https://www.facebook.com/irafijayanti/posts/1346618728693430